Ketika membahas perang, sulit untuk tidak mengingat pemikiran legendaris Carl von Clausewitz, seorang filsuf militer Prusia yang gagasannya masih relevan dan dipergunakan hingga saat ini. Karyanya yang monumental, On War (Vom Kriege), menjadi salah satu referensi terpenting dalam studi militer dan bahkan ilmu sosial politik lainnya hingga saat ini.
Melalui artikel ini, saya kembali menggali dasar-dasar pemikiran Clausewitz yang legendaris ini. Buku legendarisnya “On War” menjelaskan secara kompleks mengenai perang, mulai dari definisi "perang" itu sendiri, kemudian bagaimana perang dilakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik, taktik dan strategi dalam perang, serangan dan pertahanan, serta beberapa teori relevan lainnya seperti konsep fog of war dan Teori Trinitas. Artikel ini mungkin tidak membahas seluruh apa yang ditulis Clausewitz dalam bukunya, tetapi di sini saya akan mengulik beberapa poin penting terkait Perang, apa yang menjadi dasar tujuan perang, dan konsep dan teori legendaris Clausewitz.
Mari kita mulai dengan penjelasan “apa yang dimaksud dengan perang?”, Clausewitz mendefinisikan "perang" bagaikan wrestlers, sepasang pegulat, yang masing-masing memiliki tujuan untuk memaksakan keinginannya dalam artian ingin menjatuhkan lawan agar tidak mampu memberikan perlawanan lebih lanjut.
War is thus an act of force to compel our enemy to do our will.
Menjatuhkan lawan dan membuat musuh tak berdaya adalah tujuan sejati dalam peperangan menurut Clausewitz, yang ia sebut sebagai "The Aim Is To Disarm the Enemy." Untuk mencapai tujuan ini, hal yang paling penting adalah meningkatkan kekuatan hingga melampaui kemampuan musuh. Namun, perlu diingat bahwa langkah ini dapat memicu kompetisi yang mendorong kedua belah pihak ke titik ekstrem. Titik ekstrem yang dimaksud adalah eskalasi yang tinggi, seperti konsep realisme klasik.
Clausewitz menjelaskan bahwa dalam perang ada tiga tujuan utama: Menghancurkan kekuatan tempur musuh; Menduduki negara mereka, dan; Mematahkan kehendak mereka agar tidak dapat melakukan perlawanan. Ketiga tujuan ini saling berkaitan dan menjadi faktor penentu keberhasilan dalam perang. jika sebuah negara telah sepenuhnya diduduki, perlawanan tetap dapat berlanjut, sehingga ketiga elemen ini tidak dapat dipisahkan. Namun, urutan dari ketiga tujuan di atas tidak dilakukan secara linier, adakalanya dalam praktik perang, musuh mungkin memutuskan untuk menghindari pasukan secara langsung dan membiarkan wilayahnya diduduki. Hal ini tentunya menghindari Perang dari situasi yang lebih esktrim. Dalam praktik lain, ada juga Perjanjian Damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum salah satu pihak kehilangan seluruh power miliknya. Pemikiran Clausewitz ini terbukti dalam berakhirnya Perang Dunia I yang melahirkan Perjanjian Versailles pada 1919.
PERANG DAN POLITIK
Bagaimana keputusan berdamai itu dapat terbentuk? Keputusan untuk berdamai ini dipengaruhi oleh seberapa besar upaya yang sudah dilakukan dan masih diperlukan.
Since war is not an act of senseless passion but is controlled by its political object, the value of this object must determine the sacrifices to be made for it in magnitude and also in duration
Clausewitz melihat perang bukanlah tindakan yang dipicu oleh emosi tanpa arah (Senseless passion), melainkan tindakan yang dikendalikan oleh tujuan politik. Oleh karena itu, kepentingan yang dimiliki oleh suatu negara (tujuan politiknya) harus menjadi acuan seberapa pengorbanan yang layak untuk dilakukan. Dalam arti lain, Clausewitz menilai perang harus proporsional terhadap arah dan nilai tujuan politik, bukan dorongan emosional semata.
Kemudian apa sebenarnya Perang? apa yang terlibat? Perang melibatkan satu sarana utama, yaitu pertarungan. Semua aktivitas militer, mulai dari merekrut, melatih, hingga memelihara kekuatan tempur, semua hal itu diarahkan pada tujuan akhir (tujuan politik). Clausewitz menilai Perang adalah aktivitas yang dalam praktiknya mencakup dua aktivitas utama: persiapan dan pelaksanaan perang. Persiapan mencakup peltihan, dan pemeliharaan pasukan, termasuk perekrutan, persenjataan, serta administrasi logistik. Sementara itu, pelaksanaan perang mencakup perencanaan dan pelaksanaan pertempuran, yang dikenal sebagai taktik, serta koordinasi antarpertempuran untuk mencapai tujuan perang yang lebih besar, yang disebut strategi.
Dalam karya Clausewitz, saya menemukan bahwa ada perbedaan mengenai definisi taktik dan strategi. Taktik berfokus pada penggunaan pasukan dalam pertempuran individu, sedangkan strategi mengarahkan penggunaan pertempuran tersebut untuk mencapai tujuan keseluruhan perang. Aktivitas seperti logistik, layanan medis, dan pemeliharaan senjata dianggap sebagai elemen pendukung yang memastikan kesiapan pasukan untuk pertempuran. Perang dalam arti sempit mencakup tindakan langsung dalam pertempuran, di mana elemen-elemen seperti penempatan, rencana strategis, dan pelaksanaan taktis saling berinteraksi untuk mencapai tujuan politik dan militer.
Meskipun bentuk pertarungan dapat bervariasi, semua tindakan militer pada dasarnya berakar pada gagasan pertarungan. Perlu diingat juga bahwa dalam perang semua aktivitas militer berkaitan dengan engagement. Seluruh proses militer, mulai dari perekrutan, persenjataan, pelatihan, hingga logistik seperti makan, tidur, dan berbaris, dirancang untuk memastikan bahwa pasukan dapat bertarung di lokasi dan waktu yang tepat. Clausewitz juga menekankan bahwa tidak semua engagement bertujuan untuk menghancurkan musuh sepenuhnya. Misalnya, sebuah batalion diperintahkan untuk merebut bukit atau jembatan bukan hanya untuk menghancurkan musuh di sana, tetapi untuk mencapai tujuan strategis yang telah terpenuhi. Tujuan inilah yang penting dalam menentukan engagement.
KONSEP FOG OF WAR: KETIDAKPASTIAN DALAM PERANG
Dalam praktik perang di lapangan, Clausewotz memberikan gambaran betapa ketidakpastian dan kekacauan yang selalu ada yang membuat situasi sulit untuk dipahami. Dalam perang, informasi yang diterima sering kali tidak lengkap, samar-samar, atau bahkan salah informasi sehingga menyulitkan komandan untuk mengambil keputusan yang tepat. Selain itu, perang melibatkan kompleksitas tinggi dengan banyak variabel yang terus berubah, termasuk reaksi tak terduga dari musuh, kondisi medan perang yang dinamis, dan intervensi faktor eksternal seperti cuaca, atau bahkan moral pasukan yang terpengaruh.
Fog of War juga memiliki dampak psikologis yang besar, seperti ketakutan, tekanan, dan keraguan diri yang dapat memengaruhi komandan dan pasukan di tengah situasi penuh ketegangan. Clausewitz menekankan bahwa Fog of War adalah salah satu sumber utama gesekan (friction) dalam perang, yaitu hambatan-hambatan yang membuat rencana di atas kertas sulit dieksekusi di medan perang. Akibatnya, perang menjadi tidak dapat sepenuhnya diprediksi. Maka dari itu, komandan harus mengandalkan intuisi, pengalaman, dan fleksibilitas untuk menyesuaikan rencana dengan keadaan yang berubah.
Fog of War ini dapat menghambat keberhasilan perang. Oleh karena itu, Clausewitz menilai dalam kondisi ini ada dua kualitas utama yaitu Coup d’oeil yaitu kemampuan untuk membuat keputusan cepat, dan Determination yaitu keberanian.
TEORI TRINITAS: ANTARA RAKYAT, MILITER, DAN PEMERINTAH
Salah satu konsep paling berpengaruh dalam pemikiran Clausewitz adalah "Trinity Theory". Konsep ini menghadirkan perspektif tentang perang sebagai fenomena yang tidak hanya kompleks, tetapi juga dinamis yang selalu berubah-ubah. Dalam pandangannya, Clausewitz menjelaskan bahwa meskipun perang tampak kacau dan tidak teratur, terdapat tiga kekuatan mendasar yang selalu hadir dan saling berinteraksi dan membentuk apa yang ia sebut sebagai Trinitas Paradoksal:
Keberhasilan dalam perang sangat bergantung pada kemampuan militer untuk beradaptasi dengan situasi yang berubah dan memanfaatkan peluang yang muncul. Dalam konteks ini, komandan militer dan pasukan menjadi pusat dari elemen ini. Strategi inovatif dan keberanian komandan seperti Napoleon Bonaparte menunjukkan bagaimana militer yang mumpuni mampu mengubah peluang menjadi kemenangan, bahkan di tengah ketidakpastian dalam perang. Clausewitz menggambarkan dimensi ini sebagai arena di mana talenta dan keberanian bermain di tengah risiko.
The People (Rakyat) - Primordial Violance, Enmity, Hatred
Elemen ini merujuk pada faktor emosional yang mendorong rakyat untuk terlibat dalam perang. Menurut Clausewitz, faktor ini murni berdasarkan sifat emosional seperti kebencian dan permusuhan terhadap lawan. Contoh paling mencolok dari elemen ini dapat ditemukan dalam Revolusi Prancis, di mana semangat nasionalisme rakyat melahirkan kekuatan besar untuk mendukung perang revolusioner. Contoh lainnya adalah perlawanan Rusia dan Prusia terhadap Napoleon di mana rakyat bersatu karena kebencian. Clausewitz menekankan bahwa semakin besar keterlibatan rakyat dalam perang, semakin besar pula potensi eskalasi kekerasan yang terjadi.
Muingkin cukup kompleks untuk dapat memahami ketiga elemen dalam Trinitas ini. Namun, untuk dapat memudahkan pemahaman, anda harus ingat bahwa ketiga elemen ini berperan penting dan saling berinteraksi. Rakyat atau dalam trinitas disebut dengan "the people" memainkan peran penting bagaimana kekerasan diekspresikan, militer menentukan sejauh mana peluang dan risiko dalam perang, dan pemerintah menetapkan tujuan politik dan menjadi dasar dari strategi yang dibentuk. Perlu diperhatikan juga bahwa komposisi ketiga elemen dapat berbeda-beda, maksudnya mungkin saja dalam suatu konflik dimensi rakyat (emosi) lebih dominan seperti halnya perang revolusioner. Kemudian, bisa juga dalam interpretasi Proxy War, peran government lebih dominan. Oleh karena itu, pentingnya masing-masing elemen tergantung pada kondisi sebenarnya dan tidak ada nilai yang pasti.
Karya "On War" milik Clausewitz ini sangat menarik untuk menjadi dasar dalam memahami perang, seperti yang telah dijelaskan di atas, karya ini menganalisis mendalam tentang sifat perang sebagai fenomena sosial, politik, dan militer yang kompleks. Clausewitz menggambarkan perang sebagai alat dari politik di mana selaras dengan tujuan politik yang mendasari dan mengarahkan jalannya perang. Ia juga memperkenalkan konsep-konsep penting seperti teori trinitas yang menyoroti interaksi dinamis antara elemen dalam perang. Kemudian, Clausewitz juga menekankan ketidakpastian yang inheren dalam perang (fog of war), peran keberuntungan dan kemampuan pemimpin militer, serta kebutuhan untuk memahami perang sebagai proses yang tidak pernah sepenuhnya dapat diprediksi.